Tuesday, July 9, 2013

Nagari bagi Minangkabau

Ilustrasi Gambar: Internet
Ilustrasi Gambar: Internet
Minangkabau dikenal dikarenakan keunikan adat dan budayanya. Sistim matrilineal telah begitu melekat dan menjadi identitas yang menyatu bagi masyarakat Minangkabau. Minangkabau juga dikenal karena beberapa orang founding father[1] Negara Indonesia berasal dari daerah ini. Selain itu makanan khas rendang merupakan jenis masakan asli daerah Minangkabau. Masakan ini telah menjadi menu masakan nusantara, bahkan berdasarkan penelitian sebuah lembaga research kelas dunia, masakan rendang merupakan salah satu jenis masakan favorit di dunia.
Namaun apakah gerangan yang menjadi fondasi dasar bagi daerah ini untuk tetap berdiri, dalam menunjukkan kekhasan dirinya? Ditengah kencangnya arus modernitas, dan dibawah ideologi penyeragaman yang dilakukan oleh pusat terhadap daerah yang dipropagandakan secara halus melalui media massa. Akan sangat sulitlah bagi daerah-daerah untuk tetap berdiri sesuai dengan jati dirinya. ”Semuanya harus disesuaikan dengan kemajuan zaman, kita tidak boleh menolak perubahan karena perubahan merupakan sesuatu yang pasti. Belum ada yang berhasil menentang perubahan” begitulah kira-kira tanggapan dari sebagain Minangkabau saat ini.
Sesungguhnya yang menjadi landasan utama bagi Minangkabau untuk tetap berdiri ialah Agama (Islam) dan Adat. Kedua hal inilah yang menjadi pilar utama yang menopang kehidupan masyarakat Minangkabau. Tanpa keduanya, atau hanya salah satu saja maka Kebudayaan Minangkabau akan runtuh. Pada masa sekarang ini, kedua pilar penting inilah yang digugat, digugat oleh anak kandungnya sendiri. “Tidak sesuai dengan perkembangan zaman” Kata Tuan-tuan para intelektual.
Marilah kita perbincangkan disini perkara adat. Selain Adat Matrilineal yang menjadi fondasi utama dalam kelangsungan kehidupan masyarakat Minangkabau, terdapat satu institusi yang mewadahi kepentingan masyarakat Minangkabau. Namanya ialah “NAGARI”, maknanya ialah daerah, kawasan, ataupun negeri. Yang dimaksud dengan Nagari ialah suatu kawasan yang ditinggali oleh suatu masyarakat yang memiliki nenek moyang yang sama, sejarah kedatangan yang sama, dan ragam corak adat yang sama. Diperintahi oleh beberapa penghulu yang duduk di Balairung atau Balai Adat. Dalam menjalani pemerintahan di Nagari setiap penghulu melakukannya dengan cara musyawarah-mufakat.[2]
Ilustrasi Gambar: Internet
Ilustrasi Gambar: Internet
Nagari juga harus terdiri atas beberapa suku, paling sedikit ialah empat, kemudian harus memiliki masjid jamiak tempat menyelenggarakan shalat dan ibadah lainnya. Harus ada juga balai tempat para penghulu berunding dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada dalam nagari. Labuah atau jalanpun harus pula ada, karena ini merupakan sarana penghubung silaturahim antara anak nagari. Syarat terakhir ialah tapian, yang dimaksud dengan tapian ialah tempat mandi. Orang dahulu tidak memiliki kamar mandi di rumahnya, dan tidak pula semua rumah memiliki sumur. Maka bagi yang tidak cukup keadaan rumahnya serupa itu, maka mereka biasanya akan pergi ke batang aia (sungai) untuk mandi, mencuci, dan keperluan lainnya. Kalaupun sungai jauh, maka mereka akan mencari kolam atau tabek yang jernih serta bersih airnya, atau menumpang ke sumur-sumur milik orang kampung yang terkenal banyak airnya.
Wilayah yang mereka perintahi merupakan wilayah merdeka yang hanya mengakui kedaulatan Rajo Alam di Pagaruyuang.  Raja sendiri tidak memiliki hak untuk mencampuri kehidupan nagari, hanya saja dirinya akan turun tangan apabila terdapat perkara yang tidak didapat penyelesaiannya oleh para penghulu di nagari tersebut.

Ibarat kata orang zaman sekarang, Nagari itu ialah Republik Kecil sama kiranya dengan Polis di Yunani masa dahulu. Benarlah pendapat semacam itu, karena Pemerintahan Nagari merupakan pemerintahan berdaulat yang berhak menyelenggarakan pemerintahannya sendiri, berhak membuat segenap peraturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan adat, pemerintahan, ataupun menyangkut masalah sosial kemasyarakatan. Hal tersebut diakui selama peraturan yang dibuat tidak bertentangan dengan Hukum Syara’ (Syari’at Islam), Adat Nan Sabana Adat, dan berbagai hukum dan undang-undang lainnya yang berlaku di Alam Minangkabau.
Nagari merupakan identitas bagi masyarakat Minangkabau. Mencerminkan watak dan karakter dari kehidupan rakyatnya. Dia merupakan satu kesatuan hukum yang meliputi segenap anak dan kemenakan di dalam nagari. Aturan pada masing-masing nagari dapat berbeda-beda, sesuai dengan watak dan karakter masyarakatnya. Begitu juga dengan ragam-corak adatnya, dan yang lebih penting ialah logat bahasa masing-masing nagaripun terkadang berbeda-beda. Sehingga dengan mendengar seseorang bercakap saja sudah dapat disimpulkan dari nagari mana dia berasal. Begitulah Minangkabau dengan segala keberagamannya. Minangkabau sudah beragam (plural) jauh sebelum Kelompok Intelektual di Jakarta bercakap soal keberagaman.
Begitu pentingnya keberadaan Nagari dalam masyarakat Minangkabau, hingga pada awal tahun 1980-an sampai pada awal tahun 2000-an sistim pemerintahan ini dihapuskan dan ditukar dengan Desa. Beberapa nagari ada yang hanya berganti nama, namun ada juga yang terpecah kepada beberapa Desa. Sungguh pahit, Alam Minangkabau didera ujian yang sangat berat. Selama hampir 20 tahun terjadi kehilangan generasi. Ketika Nagari kembali ditegakkan pada awal-awal tahun 2000-an terjadi missing generation dimana sebagian generasi tua sudah meninggal sehingga dalam kehidupan bernagari masih marawak-rawak[3]. Sering terlontar di mulut orang tua-tua bahwa kehidupan bernegari masa sekarang tidaklah sama lagi dengan masa dahulu. Memang benar sebab seperti kata pepatah kami orang Minangkabau sakali aia gadang, sakali tapian barubah (sekali air besar, sekali tepian berubah) yang maknanya ialah segala sesuatu yang telah berubah tidaklah mungkin dikembalikan seperti sedia kala.
Namun walau bagaimanapun, kehidupan bernagari masa sekarang jauh lebih baik dari pada kehidupan berdesa pada masa sebelumnya. Karena dengan pemerintahan nagari tidak adalagi sekat-sekat antara penduduk nagari yang pada dasarnya bersaudara, badunsanak. Tidak ada lagi kata kami yang terlontar sebab kadangkala pembangunan di suatu desa tidak sepesat di desa yang lain. Nagari ialah kesatuan hukum adat yang masyarakatnya saling berhubungan erat, disatukan oleh hubungan suku, ipar-besan, sumando-sumandan, dan berbagai hubungan kekeluargaan lainnya.
Ilustrasi Gambar: Internet
Ilustrasi Gambar: Internet
Namun tidak semua daerah di Minangkabau menerapkan pemerintahan nagari pada masa sekarang ini. Di beberapa wilayah yang berada di bawah naungan Pemerintahan Kota, nagari tidak ditegakkan. Pemerintahan desa dan kelurahan masih bertahan. Kami yang tidak begitu faham perihal masalah Hukum Ketatanegaraan tidak begitu mengerti. Kenapa di kota-kota Sumatera Barat berlaku hal yang berlainan?
Setidaknya hal ini menjadi cerminan bagi kita, betapa Pemerintahan Nagari tidak hanya sekadar kesatuan adminsitratif belaka. Melainkan mencakup banyak hal, jika ditukar maka alamat Alam Minangkabau akan menghadapi keruntuhan. Daya tahan masyarakat Minangkabau sekarang tidak seperti generasi sebelumnya. Sebab keadaan yang dihadapi sudah berbeda. Sangatlah disayangkan beragam pemikiran yang beranggapan jika Pemerintahan Nagari kembali ditukar menjadi Desa akan mendatangkan banyak manfaat. Terutama dalam segi anggaran, sebab anggaran untuk Desa sangat besar alokasinya.
Sungguh pernyataan tersebut keluar dari mulut orang-orang yang telah terserabut dari akar budayanya. Buah dari pendidikan Barat yang mengutamakan materi. Tidak dibekali dengan dasar-dasar pengetahuan adat dan agama. Sehingga kebanyakan Anak Minangkabau menjadi Durhaka ke Ibu Kandungnya sendiri.
Wallahu’alam, semoga Minangkabau terjauhkan dari hal-hal semacam itu. Semoga Minangkabau terselamatkan dari orang-orang semacam ini. Marilah kita hidup dengan adat, ucapan, tindakan, dan tingkah laku bersandarkan kepada adat dan agama. Tidak perlu malu menunjukkan ke khasan diri kita. Sama dengan orang lain hanya akan membuat kita serupa orang dusun udik yang pindah ke kota. Meniru, meniru, dan meniru..


Sumber: http://soeloehmelajoe.wordpress.com/2013/06/27/nagari-sebuah-identitas-budaya/
 

[1] Sering diterjemahkan dengan Bapak Bangsa atau Pendiri Bangsa. Yakni orang-orang yang berperan besar dalam proses terbentuknya dan pendirian sebuah negara.
[2] Pola Pemerintahan Nagari semacam ini telah mengalami perubahan, Dimasa Belanda, diangkat salah seorang dari para penghulu yang duduk di Balai Adat untuk dijadikan sebagai Penghulu Kepala yang oleh anak nagari dipanggil dengan Kepala Nagari. Maksudnya ialah penghulu inilah yang menjadi pemimpin bagi para penghulu dan masyarakat di Nagari. Hal ini gunanya oleh Belanda ialah untuk mempelancar hubungan  mereka dengan masyarakat pribumi. Berhubungan dengan sekian banyak Penghulu dinilai tidak efektif dan efisien. Hingga sekarang jabatan semacam ini masih bertahan, hanya saja namanya yang berubah yakni “Wali Nagari”.
[3] Meraba-raba

No comments:

Post a Comment