Monday, July 15, 2013

Penjajahan Bahasa

Salah satu gedung perkuliahan di Unand.
Gambar: Internet
 Beberapa bulan yang lalu kami berkunjung ke bekas kampus kami di Kota Padang tepatnya di Kampus Unand Limau Manis. Karena lapar, maka kami makan di salah satu barak[1] di dekat salah satu gedung perkuliahan yang pernah menjadi tempat kami belajar dahulunya.
Keadaan barak tentunya telah agak sedikit berbeda, walau sudah bertahun-tahun lamanya namun tidak banyak yang berubah kecuali harga makanan yang semakin mahal. Katika itu sedang masa libur semester genap sehingga mahasiswa sedikit. Bahkan di barak ini tidak kami temui seorang mahasiswapun.
Selepas makan maka kamipun pergi ke meja kasir untuk membayar makanan kami. Ketika hendak membayar, salah seorang pelayan perempuan di sana bertanya basa-basi kepada kami “Hendak membayar ya mas..?
Kami terdiam mendengarnya, sudah banyak kiranya yang berubah di kampus ini. Kampus dari universitas kebanggaan kami orang Minangkabau, bagian dari jati diri (identitas) kami, perlambang bagi kecerdasan intelektual kami orang Minangkabau. Telah berubah rupanya..
Dahulu mereka memanggil kami para mahasiswa dengan panggilan uda atau abang yang merupakan panggilan lazim bagi lelaki Minangkabau. Sama agaknya dengan panggilan mas di Jawa (dan juga beberapa kota di Pulau Jawa). Kami terhenyuk, sedih, marah, kesal, dan lain-lain perasaan bercampur baur. Tapi apa hendak dikata, tak patut rasanya kalau kami marah ketika itu.
Kami kembali terkenang akan sebuah tulisan yang pernah dimuat pada salah satu blog yang pernah kami baca dahulunya. Sebuah tulisan yang diangkat dari pengalaman pribadi si penulis, tulisan yang mencemooh (mengkritisi) salah satu kejadian pada salah satu bank di salah satu kota di Sumatera Barat.
Penulis berkisah, pada suatu ketika dia hendak mengurus beberapa urusan ke salah satu bank yang terdapat di salah satu kota di Sumatera Barat. Ketika baru masuk, lazimnya pada sebuah bank pada masa sekarang, pintu dibukakan oleh satpam. Si satpam menyapa dirinya “Selamat Datang Mas, ada yang dapat kami bantu..”
Kesal minta ampun si penulis dibuatnya, padahal dia berada di salah satu kota di darek,[2] daerah asal orang Minangkabau, jantung dari Kebudayaan Kami Orang Minangkabau. Ketika itu dia menulis dalam tulisannya “..saya terkejut, kenapa pula saya dipanggil “mas”? padahal saya berada di Darek, di Minangkabau. Saya tidak suka dengan panggilan tersebut, panggil saja saya uda atau abang…”
Balai adat dan Surau
Gambar: Internet
Tulisannya menuai beragam pendapat, ada yang mengiyakan namun lebih banyak yang mencela dengan mengatakan dia rasis. Sungguh dunia zaman sekarang benar-benar sedang sakit, batas antara benar dan salah tak ada, patut dan tak patutpun menjadi kabur. Seseorang yang membela agamanya dikatakan teroris, dan seseorang yang membela adat-resam di negerinya dikatakan ia rasis.
Kami juga terkenang pula dengan pengalaman kami di kampung, kampung kami ialah di salah satu nagari di darek. Ketika itu kami sedang berbelanja ke salah satu lepau (kedai/warung). Ketika itu pemilik kedai sedang memutar salah satu siaran radio di kota kami. Kamudian setelah iklan, terdengar penyiar menyapa para pendengarnya dengan sebuatan “..mabak dan mas pendengar radio yang kami cintai..”.
Ketika itu ada seorang datuk sedang bercakap-cakap dengan pemilk kedai. Mendengar hal tersebut beliau berkomentar “.. ampun.. sungguh hebat orang Minangkabau zaman sekarang. telah berganti adat kita sekarang rupanya. Bukankah zaman Orde Baru telah berlalu..”
Benar kiranya engku dan encik sekalian, itulah keadaannya pada zaman sekarang. Walau zaman telah berganti, namun proses Jawanisasi tetap berlangsung. Hanya dengan bentuk yang berlainan. Kalau dahulu dipaksakan oleh pemerintah, maka sekarang berjalan dengan cara tersamarkan atas nama kebebasan melalui media.
Itu ialah hak asasi bagi setiap manusia, ia merdeka untuk memanggil dengan panggilan yang ia yakini dan sukai. Begitulah kira-kira..
Engku dan encik sekalian, yang tampak tersebut merupakan hal yang biasa pada zaman sekarang. Kita (orang Minang) terkesan abai, tak hendak mempermasalahkan, menerimanya sebagai sesuatu yang wajar, biasa..
Tengok saja Bahasa Melayu atau kita menyebutnya Bahasa Indonesia. Telah banyak disusupi istilah-istilah dari Bahasa Jawa yang non Melayu. Sehingga akibatnya kita orang Melayu menjadi asing terhadap bahasa itu pada masa sekarang. Perlahan-lahan beberapa kata diubah dan diganti, dipakai serapan dari Bahasa Jawa dan Inggris. Padahal kita punya padanannya dalam Bahasa Melayu. Boleh memakai kata serapan asalkan tidak ada padanannya dalam Bahasa Melayu.
Entahkan apa yang terjadi esok, mungkin anak-kamanakan kita takkan pandai lagi bercakap Bahasa Minang ataupun Bahasa Melayu pada masa depan.


[1] Barak, dalam hal ini bermakna kedai makan atau warung. Sama sekali tidak ada kesan militer. Biasanya para mahasiswa lelaki suka bermain balak atau domino di barak ini dahulunya. Mereka bermain sebelum jam kuliah, selepas kuliah, dan bahkan ketika jam kuliah sudah masuk bagi mahasiswa pemalas. Kesannya lebih merakyat tidak seperti kafe serta harga makanan lebih murah di barak-barak ini.
[2] Daerah asal orang Minangkabau.

No comments:

Post a Comment