Thursday, December 12, 2013

Berkisar Sempadan Hitam dengan Putih

Gambar: http://cetusanminda.wordpress.com/2010/02/14/Gambar: http://cetusanminda.wordpress.com/2010/02/14/
Semenjak beberapa pekan yang lalu Sumatera Barat dibuat rusuh oleh beberapa orang yang mengaku sebagai utusan rakyat pada salah satu bandar di propinsi ini. Mereka yang katanya wakil hasil dari pilihan rakyat hampir lima tahun yang lalu membuat rusuh. Apakah itu gerangan?

Yakni memberi izin kepada Misi Zendig Nasrani untuk masuk ke salah satu bandar utama di Sumatera Barat dengan dalih untuk memajukan kehidupan perekonomian di bandar tersebut. Entah apa yang ada difikiran orang-orang yang mengaku sebagai orang Minangkabau yang beragama Islam tersebut. Namun orang-orang laknat ini tidak sendiri, jauh-jauh hari telah banyak orang yang mengaku beretniskan Minangkabau dan beragamakan Islam mati-matian membela para “penjajah” ini “Demi memajukan bandar yang kita cintai ini..” rayu mereka.

Sutan Malenggang termasuk diantara orang-orang yang menyetujui kedatangan para “penjajah” ini. Dia bersama beberapa orang kawan-kawannya mati-matian membuat berbagai tulisan di surat kabar dan internet, mengadakan berbagai macam pertemuan, berkampanye melalui jejaring sosial, serta menjalin berbagai macam bentuk komunikasi dengan berbagai kalangan. Hanya untuk mewujudkan “kemajuan” untuk bandar yang sangat dicintainya ini.

Beberapa orang geleng-geleng kepala melihatnya “Masihkah ia shalat ke surau?” tanya orang

“Bagitulah kalau nikmat dunia sudah terasa, yang ada dikepalanya hanyalah uang..uang..dan uang. Tak ada cukup-cukup baginya, padahal harta telah melimpah serupa itu..” sergah yang lain

“Bagi orang-orang serupa itu, kemajuan itu ialah apabila banyak gedung bertingkat di bandar kita ini, lapang dan besar jalan rayanya, banyak mobil-mobil mewah, bertaburan berbagai macam rupa mall, banyak terdapat kafe, salon, pub yang beroperasi hingga jauh malam, serta banyak berselisih dengan kita para perempuan dengan pakaian sempit, bentuk tubuh yang sintal nan semok, dan wajah berbedak serta merah merona, tubuh yang disemprot parfum mahal, sepatu hak tinggi, stoking, dan lain sebagainya..” kata engku yang lain.

Kami hanya mendengarkannya saja lagi. Bandar ini memanglah belum sebesar dan seramai bandar-bandar lain seperti yang terdapat di propinsi jiran. Namun kehidupan liberal dan hedonis sudah sangat terasa di bandar ini. Jenis-jenis orang dan bentuk kehidupan serupa yang disebutkan salah seorang engku tersebut memang sudah terjadi di bandar ini.

Beberapa masa yang silam ketahuan oleh orang perihal “Penari Telanjang” yang beroperasi pada salah satu tempat hiburan malam di bandar ini. Entah bagaimana kelanjutan proses hukumnya. Telah senyap dan tak terdengar lagi kabar beritanya.

Pernah jua terdengar oleh kami perihal beberapa orang Lonte yang beroperasi di bandar ini. Tatkala diselidiki oleh orang-orang, rupanya bukan pula perempuan Minangkabau (syukurlah..). Menurut pengakuan mereka, mereka berasal dari pulau seberang. Tatkala ditanya “kenapa sampai beroperasi di bandar ini..?”

Dijawap oleh para Lonte ini “Karena di tempat kami sudah sangat susah mencari pelanggan engku..” artinya pasar perzinahan di propinsi ini sangat menjanjikan bagi para Lonte ini. Na’uzubillah..

Tampaknya Sutan Malenggeng dan kawan-kawan mengetahui perihal ini. Sebab beberapa kawasan di bandar ini memang sudah sangat terkenal sebagai pusat perlontean. Bahkan ada yang terang-terangan mengusulkan agar dibuat saja “Lokalisasi” serupa dengan bandar lain di propinsi lain. Kalaulah memang jadi juga dibuat tempat “Perlontean” serupa itu maka hendak diletakkan dimana muka kita orang Minangkabau yang selama ini membanggakan falsafah “Adat Basandi Syarak – Syarak Basandi Kitabullah

Telah banyak orang yang mengingatkan kepada Sutan Malenggang “Orang yang engkau puja-puja itu ialah orang kafir yang selama ini giat menyebarkan agamanya dimana-mana di republik ini. Cobalah tengok di Palembang, dahulu katanya takkan pernah dibangun gereja di dalam kawasan rumah sakitnya. Namun akhirnya dibangun jua..”

Sutan Malenggang tak hendak mendengar dan menghiraukan. Baginya, ini semua demi kemajuan Sumatera Barat. Dengan Pongahnya Sutan Malenggang berujar “Tengoklah propinsi kita, tertinggal dari propinsi lainnya di Pulau Sumatera ini! Coba pula engku-engku inap-inapkan; kenapa listrik sering padam di propinsi kita? Padahal terdapat tiga buah pembangkit listrik di propinsi ini?! Coba pula hisab-hisab diri serta anak-kamanakan kita, telah berapa orang tenaga keja potensial Minangkabau yang pergi merantau dan tak pulang-pulang lagi. Padahal mereka semua ialah orang-orang cerdik dan pintar. Alangkah bagusnya jika orang-orang seperti mereka membangun kampung halaman, bukan kampung orang yang dibangunnya serupa keadaan sekarang ini..!” 


Orang-orang yang mendengarnyapun geleng-geleng kepala dibuatnya. Bukan karena mereka tercengang dan tak tahu hendak menjawap apa. Bukan pula karena kagum dan membenarkan pernyataan dari Sutan Malenggang. Kalau memang demikian tentulah telah mengangguk-angguk orang banyak itu. Orang-orang geleng-geleng kepala karena merasa geram karena telah dianggap pandir oleh Sutan Malenggang ini. Hanya karena mereka tak pernah kuliah lalu Sutan Malenggang yang tamatan universitas ternama ini memandang rendah mereka. Hanya karena mereka orang kampung dan miskin sedangkan Sutan Malenggang ini ialah orang beruang dan berpangkat membuat orang-orang kampung ini dianggap tengak saja oleh Sutan Malenggang nan hebat ini.

Sebenarnya jawapan dari pertanyaan Sutan Malenggang telah menjadi bahan ota-ota di lapau bagi orang-orang kampung nan pandir ini. Pertama; Perihal maju atau tidak majunya, apa gerangan barometer yang dipakai oleh Sutan Malenggang? PADkah? Sungguh sangat dangkal sekali cara berfikir anak-anak kuliah tamatan universitas ternama pada masa sekarang. Elok tak usah kuliah saja mereka itu.

Kedua; perihal listrik sering padam? Memang benar hal tersebut mendatangkan pertanyaan pada benak sebagian besar orang Minangkabau. Padahal kita memiliki beberapa buah pembangkit listrik di propinsi ini. Apakah ini merupakan salah satu cara bagi mereka untuk memaksa orang Minangkabau untuk menerima investor? “Maaf sekali engku dan encik, kami tak sepandir yang engku-engku fikirkan. Kemiskinan tidak selalu berarti kebodohan. Kami orang Minangkabau sudah cukup cerdik untuk dapat memahami permainan yang engku dan engku mainkan terhadap kami..”

Ketiga; perihal tenaga-tenaga potensial yang banyak hijrah. Bukankah lebih baik demikian?! Kalau mereka tetap tinggal di kampung maka keberadaan mereka akan mendatangkan masalah sosial dan kriminalitas di berbagai kampung di Minangkabau. Dengan berangkatnya beberapa tenaga potensial untuk bekerja di rantau orang maka akan mengurangi salah satu masalah di kampung-kampung. Setidaknya sengketa (konflik) perebutan tanah atau harta pusaka lainnya dapat dikurangi (kalau tak dapat dihilangkan).

Apakah dengan kepergian mereka itu kampung-kampung di Minangkabau menjadi miskin papa? Orang kampungnya menjadi fakir? Justeru sebaliknya engku dan encik sekalian. Banyak kampung-kampung di Minangkabau ini masihlah asli “Masih Perawan..” kata orang sekarang.

Coba bayangkan apa gerangan yang terjadi apabila mereka-mereka ini masih tetap tinggal di kampung? Konflik horizontal perihal harta pusaka (tanah, sawah, ladang, gelar pusaka, dan lain sebagainya) akan marak di Minangkabau ini. Belum lagi penyimpangan perilaku sosial seperti tingginya kriminalitas, pelanggaran norma adat, agama, dan sosial (penyimpangan perilaku seks, perzinahan/perselingkuhan, minum-minuman keras, judi, dan lain sebagainya) akan semakin menjadi-jadi. Kekerasan dijalan raya, di lingkungan tempat tinggal, serta rumah tangga. Polusi (udara, suara, sampah, dan lain sebagainya) akan menjadi santapan sehari-hari. Kecelakaan di jalan raya karena padatnya arus lalu lintas. Akhirnya tingkat stress masing-masing orang meningkat.

Para engku yang maota-ota di lepau hanya tertawa masam dan geleng-geleng kepala saja melihat perilaku Sutan Malenggang dan kawan-kawan. Berbagai penjelasan dan pengajaran orang tak masuk ke dalam hatinya. Sebab dalam pandangannya sekalian orang yang menentang kedatangan investor “penjajah” ini ialah orang-orang kapung yang pandir lagi fanatik. Mengait-ngaitkan masalah ini dengan segala bentuk omong kosong “KRISTENISASI” yang dibuat-buat oleh sekelompok fihak yang tak senang.

“Kata Sutan Malenggang dan kawan-kawan; sebagian kalangan di propinsi telah melakukan “Politiasasi” isu ini. Kalau memang demikian lalu kenapa sebagian besar orang-orang yang katanya “wakil rakyat” di bandar ini mendukung perihal kedatangan investor “penjajah” ini. Fitnahan serupa apakah lagi yang hendak mereka hujamkan kepada kita Kaum Muslimin ini..?!” sergah salah seorang engku.

Yang lain hanya terdiam, tatapan para engku ini kosong. Tak habis fikir mereka dengan anak-anak muda Minangkabau pada masa sekarang. Entah pengajaran serupa apa yang telah mereka dapatkan di bangku kuliah “Telah salahkan kiranya kami menyekolahkan mereka sampai universitas? Diharap mereka akan membangun negeri dan agama. Namun justeru meruntuhkan negeri dan agama yang teramat disanjung ini yang mereka lakukan. Duhai.. negeri serupa apakah yang hendak kami wariskan kepada anak-kamanakan kami kelak Ya Allah..”

Lupa ia bahwa pada masa dahulu penyebab masuk dan berhasilnya penjajahan oleh Belanda di Minangkabau ini karena salah satu golongan yang bertikai di Minangkabau menjalin persahabatan dan membawa masuk orang-orang kafir itu ke Minangkabau. Akhirnya, selepas mereka menang “Haram” bagi mereka melepaskan Tanah Beremas ini.
Akankah Sejarah Kembali Terulang di Minangkabau???

No comments:

Post a Comment