Pagi
hari ini di jalan tatkala kami hendak berangkat ke sawah, bersua kami
dengan kawan senasib kami Si Engku Sutan Pamenan. Tampak bersemangat
sekali dia pagi ini, embun pagi masih menyelimuti kampung kami. Kamipun
menyapa dengan semangat pula“Assalamu’alaikum engku, sungguh
berseri-seri sekali wajah engku pagi ini..”
Sutan Pamenan yang
kami sapapun menjawab dengan riangnya “Ah, tak juga. Kami baru saja
mendapat kabar dari kamanakan kami yang di Padang. Kamis 24 Muharam yang
dahulu dia bersama beberapa orang kawan-kawannya pergi berdemo guna
menunjukkan penolakan mereka terhadap rumah sakit orang nasrani itu.
Sungguh senang hati ini mendengarnya, kami katakan kepada kakak kami:
Kalau perkara demikian tak apalah Si Buyuang dibiarkan berdemo kak, sama
dengan berjihadi itu..”
Kamipun telah mendengar perkara demikian,
salah seorang kakak kami yang tinggal Padang telah jauh-jauh hari
mengabari kami. Hendak ikut berdemo katanya, kami cukup khawatir
mendengarnya. Namun setelah mendapat keterangan dari sumando kami, maka
berkuranglah rasa cemas itu. Namun tetap saja rusuh tak hendak pergi
dari hati yang lemah ini, berandai-andai kami dibuatnya “Seandainya ada
orang yang menyusup ke dalam kelompok kakak kami itu, seandainya ada
permainan intelejen, seandainya orang kafir itu tidak tinggal diam dan
mengerahkan massa tandingan..” serta andai-andai yang lain.
Alhamdulillah
segala prasangka buruk kami itu tidak terjadi, syukurlah hanya bisikan
syetan saja.
Kecemasan kami yang lain ialah kejadian Demo Akbar di
Padang itu tidak dimuat oleh media. Karena yang ditentang ialah salah
satu orang terkaya di republik ini, memiliki banyak kenalan di tingkat
elit, serta memiliki jaringan yang luas dalam tubuh media. Maka kabar
perihal demo akbar tersebut sangat susah sampainya kepada kami yang di
kampung ini.
Kata Si Panjul anak jiran kami "Ada keluar Tuanku, di
bahas orang di Fesbuk dan beberapa situs berita online.." Namun karena
kami bukan termasuk peminat, maka kami tak tahu kalau di fesbuk dan
situs berita online sudah dibahas oleh orang. Manalah ada kami orang
kampung ini pergi ke warnet atau memiliki gadget yang dapat meakses internet setiap saat.
“Lalu bagaimana kabarnya jalan Demo Akbar itu engku..?” tanya kami penasaran kepada Sutan Pamenan
Dengan
senyum mengambang Sutan Pamenan menjawab “Alhamdulillah berjalan aman
dan lancar. Banyak pula perantau yang pulang hanya untuk berdemo bahkan
dari Luhak Agam pun ada. Sungguh ada hikmahnya jua, kita orang
Minangkabau dipersatukan dalam hal ini. Walau ada jua sekelompok Kaum
Munafik yang mengaku orang Minangkabau yang mencemooh aksi
saudara-saudara kita Kamis yang silam itu..”
“Kamipun mendengar demikian engku, sungguh berlainan keadaannya dengan dahulu. Dahulu tatkala isu Kristenisasi menyeruak di masa tahun 1920-30an
– dimana Belanda masih berkuasa ketika itu – sekalian orang Minangkabau
dari segala lapisan dan golongan (Golongan Adat, Golongan Agama,
Golongan Tua, dan Golongan Muda) bersatu padu menentang misi zendig ini.
Namun keadaan berlainan berlaku sekarang agaknya, telah benar-benar
banyak orang Minangkabau yang beralih akidah rupanya engku..” jawab kami
sedih..
“Tahukah engku yang lebih sedih lagi…?” tanya Sutan Pamenan
“Apa itu gerangan engku..?” tanya kami balik penasaran
Sambil
tersenyum jenaka Sutan Pamenan berbisik kepada kami, padahal pagi itu
tak ada siapa-siapa di pematang sawah, hanya kami berdua saja “Engku
Haji yang rajin menghujat dan mengata-ngatai adat kita jahiliyah dan
bertentangan dengan Hukum Syari’at tak bersuara sedikit jua perihal
perkara ini. Entah apa yang terjadi. Atau jangan-jangan benar agaknya
kalau Engku Haji ini sebenarnya ialah Agen Zionis yang bertugas
mengadu-domba kita umat Islam..?”
“Astagfirullah.. hati-hati kalau
bercakap engku. Dapat jatuh kepada fitnah, siapa tahu Engku Haji itu
sedang sakit atau sedang sibuk dengan sesuatu urusan sehingga terlupakan
baginya memikirkan masalah umat ini..” seru kami cemas..
Sutan
Pamenanpun mulai beranjak dengan enggan “Ya.. mudah-mudahan saja serupa
dengan sangkaan engku itu hendaknya. Daripada sangkaan kami yang benar,
sungguh ther..lha..lhu..”
Kami hanya tertawa saja medengarnya,
sambil tertawa-tawa kami beruda berjalan beriringian di atas pematang
sawah yang kian hari kian mengecil saja. Padahal dahulu tatkala masih
kanak-kanak kami dapat bermain kereta[1] di atas pematang sawah ini.
[1] sepeda
No comments:
Post a Comment