Sunday, September 11, 2016

Pemurtadan di Minangkabau (bag.4)

Yanwardi sedang mengembalakan domba-dombanya. Cobalah engku dan encik tengok pada dinding bagian belakangnya.
Foto: Yanwardi sedang mengembalakan domba-dombanya. Cobalah engku dan encik tengok pada dinding bagian belakangnya.
Telah banyak orang Minangkabau yang bertukar kiblat, dan hampir semua dari murtadin tersebut ialah para perantau yang merantau di luar wilayah Minangkabau. Kalaupun ada yang tinggal di  dalam wilayah Propinsi Sumatera Barat, para MURTADIN itu tidak tinggal di kampung mereka. Kebanyakan kasus pemurtadan ini berlaku ialah karena  mereka menikah dengan orang Nasrani.
Sepatutnya hal ini menjadi bahan pemikiran bagi kita semua orang Minangkabau. Sebab telah banyak pula serangan berupa pernyataan bermaksud menohok kepada sekalian orang Minang “Kalau memang Minangkabau itu identik dengan Islam! Lalu kenapa banyak jua Rumah Makan Padang yang buka pada bulan puasa? Banyak jua orang Padang di rantau yang menjalani pekerjaan “kotor”,  serta banyak pula yang tak shalat..!?”
Kami tersenyum tatkala mendapat pertanyaan “kasar” serupa itu. Kami terkenang dengan ucapan dosen kami semasa kuliah dahulu di kelas kepada salah seorang kawan yang kafir (non muslim). Begini kata dosen tersebut “Angel (nama samaran), itu yang memaling di negara ini kebanyakan ialah orang Islam, yang koruptorpun kebanyakan orang Islam pula, pendek kata yang melakukan tindakan kriminal di negara ini ialah orang Islam..!” kata dosen kami yang mengaku beragama Islam namun berideologi sosialis tersebut.

Kala itu kami terdiam menahan amarah, hendak dilawan segan sebab kami masih muda dan di kelas banyak pula ikut para senior yang mengulang mata kuliah tersebut. Dalam hati saja kami jawab “Tentulah demikian, coba kalau di Eropa atau Negara Barat. Kebanyakan pelaku kriminal ialah orang Nasrani atau orang Atheis..!”
Orang-orang fasik nan munafik serupa ini berusaha menjadikan perilaku individu sebagai gambaran atau simbolisasi dari agama atau kebudayaan yang mereka anut. Padahal tidak demikian, apakah karena kebanyakan orang Islam sekarang yang meninggalkan shalat ataupun berzinah maka dianggap perilaku demikian merupakan perilaku yang lazim di kalangan umat Islam? Tentunya tidak. Tidaklah patut menyalahkan agama atau kebudayaan tertentu atas penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh penganutnya.
Kalaulah boleh kita berbersih hati menyikapi fenomena tersebut, hal ini berlaku karena ketiadaan “alat“ bagi agama (Islam) dan kebudayaan (Minangkabau) untuk menegakkan wibawa hukum mereka dalam masyarakat penganut mereka. Negara saja yang memiliki “alat” untuk menegakkan wibawa hukumnya sudah kepayahan menghadapi berbagai bentuk penyimpangan perilaku warga negara dalam bidang hukum.
Alat itulah yang tidak ada, negara memiliki Intitusi Kepolisian” untuk menegakkan wibawa hukum mereka. Sedangkan agama (Islam) dan adat  (Minangkabau) tidak demikian. Memang ada parik-paga nagari dalam adat serta dubalang (hulubalang). Namun peranan mereka dibatasi oleh Hukum Positif yang berlandaskan hukum Eropa. Dimana banyak terjadi pertentangan antara kedua produk hukum tersebut dalam penerapannya di masyarakat. Tentulah hukum negara jua yang lebih berkuasa dan dijadikan patokan.
Adapun dengan perilaku menyimpang dalam agama dan adat yang dilakukan oleh beberapa orang Minangkabau pada masa sekarang. Kita kembalikan ke pangkalnya yakni orang tua dan keluarga. Segala kelakuan menyimpang tersebut akan dapat terbenahi apabila orang tua dan keluarga benar-benar melaksanakan peranan mereka dengan sebenarnya. Masalahnya pada masa sekarang tidak adanya degenerasi dalam hal pengetahuan agama dan adat pada masyarakat Minangkabau. Sehingga anak-anak yang dihasilkan dari orang tua yang tak tahu-menahu (Lost Generation) tersebut ialah generasi yang telah putus dari jiwa dan kepribadian bangsanya (Minangakabu).
Berbagai perbuatan menyimpang seperti memaling, membunuh, berzinah, dan lain sebagainya masih diampuni dalam pandangan adat sepanjang mereka menunaikan kewajiban sebagai “orang salah”. Yakni membayar denda adat yang besarannya serta bentuknya berbeda pada masing-masing nagari di Minangkabau ini. Kalau tak hendak dibayar maka orang tersebut dan keluarganya akan mendapat sangsi sosial berupa dikucilkan “ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar, di tengah-tengah dimakan kumbang..”
Namun apabila sudah MURTAD, maka tak ada ampun, tak ada kata maaf. Orang tesebut mesti dibuang dalam nagari dan Alam Minangkabau. Dapat berupa “dibuang seakar” yakni dirinya, ibu-bapak, serta saudara-saudaranya. Dapat juga “dibuang serumpun” yakni seluruh kaum keluarganya ikut mendapat sangsi dari masyarakatnagari tempat asalnya.
Begitulah engku dan encik, jangan dikata kita harus saling menghargai kebebasan. Sebab salah satu perbuatan buruk orang zaman sekarang ialah apabila mereka datang ke tempat kita maka kita harus dapat menerima mereka dengan pendapat dan seperangkat aturan yang mereka bawa. Namun apabila kita yang datang kepada mereka, maka kita harus menghormati pendapat serta aturan yang mereka punyai.
Negarapun akan menghukum setiap warga negaranya yang membangkang, apakah itu dipenjara dalam jangka waktu yang lama, dicekal tak boleh berpergian ke luar negeri, bahkan sampai di hukum mati. Apatah lagi di Minangkabau dimana produk hukumnya telah berumur jauh lebih tua dari Hukum Negara di Republik ini..
Apakah itu yang disebut dengan manusia berbudi dan terpuji duhai engku dan encik sekalian?

No comments:

Post a Comment