Sunday, September 11, 2016

Pemurtadan di Minangkabau (bag.7)

Fitanah Para SEPILIS

Gambar: Internet
Yanwardi (berdiri kedua dari kanan) & Isteri (pertama dari kanan) bersama para pengurus GKN)
Sumber: Internet
Pada tulisan kami bagian ke-6 telah kami uraikan perihal tiga kelompok yang ikut memuluskan Jalannya Kristenisasi di Minangkabau ini. Pada tulisan kali ini kami hendak mencoba membahas perihal salah satu kelompok yakni Kelompok SEPILIS. SEPILIS merupakan akronim dari Sekuleris, Pluralis, & Liberalis. Sekularis ialah orang-orang yang berkeinginan memisahkan agama dari kehidupan publik seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya. Agama menjadi urusan peribadi yang tak boleh dicampuri oleh seorangpun.
“Baik dan salah itu semua berpulang kepata Tuhan, sebab Tuhanlah yang berhak menghukum seseorang..” begitulah pendapat mereka.

Sedang Pluralis ialah orang-orang yang berideologi menghargai perbedaan. Kebanyakan penganut ideologi ini yang mengaku beragama Islam dapat hidup berdampingan dengan mesra bersama orang berlainan agama. Namun dengan orang segama dengan mereka sangatlah besar kebencian mereka kepada mereka. Padahal mereka mengaku berideologi Pluralis. Pluralis di Indonesia juga berarti bahwa Umat Islam harus menghormati perbedaan dengan umat lain sedangkan umat agama lain tak perlu menghormati Islam.
Liberalis ialah suatu ideologi yang menjunjung tinggi kebebasan terutama kebebasan berpendapat, berekspresi, berorganisasi, dan lain sebagainya. Kebanyakan dari mereka ialah orang yang memandang biasa Gamabr Seronok (porno), boleh mencaci-maki suatu agama, orang, atau organisasi, dan lain sebagainya.
Kawan kami kata “Mereka ini ialah orang-orang sakit jiwa agaknya. Kenapa dibairkan saja lepas begitu saja oleh orang..?!”
Kami hanya tersenyum mendapat pertanyaan serupa itu, sebab kamipun sama herannya dengan kawan kami ini.
Dalam menyikapi Kristenisasi ini para SEPILIS justeru menyalahkan orang Minangkabau dan membela para Murtadin dan Tukang Murtadnya (Misionaris). Kata mereka “Agama itu tak dapat dipaksa, itu ialah urusan pribadi antara manusia dengan tuhan. Tiada seorangpun boleh memaksa..”
Benar kata mereka, tapi bukankah orang Minangkabau yang murtad itu mengalamai paksaan secara mental. Paksaan tidak mesti dihardik, ditangani (dipukul, fisik), berbagai bentuk intimidasi lainnya. Dapat juga dijalankan secara halus dengan memberikan penawaran kepada Si Muslim. Bukankah hal yang demikian yang terjadi?
“Jadi sebaiknya kalian para SEPILIS menghadapkan muka kepada para Misionaris Kristen bukan kepada kami. Yang kami lakukan ialah membela hak kami, saudara kami, dan sekalian orang di Alam Minangkabau ini..” jawab salah seorang kawan kami.
Ada pula yang berpendapat “Boleh-boleh saja menggunakan Bahasa Minang karena bahasa bersifat umum. Siapapun boleh menggunakan Bahasa Minang; si kapia, si ateis, si SEPILIS, termasuk orang Cina di Padang dimana mereka diantara mereka ada yang lebih fasih bercakap Minang jika dibandingkan dengan beberapa orang Padang”
Pernyataan ini dijawab oleh salah seorang kawan kami “Harap engku bedakan dengan bercakap-cakap yang kita sebut dengan Bahasa Lisan dengan Bahasa Tulis. Dalam bercakap tentulah boleh, mana dapat kita larang orang bercakap menggunakan bahasa kita. Apalagi dia telah belajar dan pandai, justeru bangga kita melihatnya. Banyak saya dapati betapa bangganya orang Minangkabau tatkala mendengar dan melihat seorang Bule pandai bercakap Bahasa Minangkabau.”
“Namun apabila menggunakan Bahasa Tulis seperti di dalam Injil untuk tujuan keagamaan. Dimana tujuan keagamaan disini ialah bukan untuk kepentingan dari Agama Islam yang merupakan agama resmi Orang Minangkabau. Maka hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Apabila dikerjakan juga maka itu sama dengan pelecehankepada Adat dan Agama kami orang Minangkabau..”terang kawan kami.
Kemudian pertanyaan lainnya “Apa betul bahwa simbol-simbol adat (budaya) tersebut hanya milik orang Minangkabau yang beragama Islam..?”
Kami hanya tergelak mendengar pertanyaan tersebut. Sebab sangat terang sekali hanya mencari-cari, tak ada lagi yang dapat ditanya, telah habis peluru di bedil akhirnya bedil itu yang dipungkangi ke muka lawan.
Kawan kamipun menjawab “Bukankah para peneliti telah melakukan pemetaan terhadap budaya Minangkabau ini. Dan dari penelitian tersebut dapat dipastikan bahwa seluruh kawasan yang menganut kebudayaan Minangkabau ialah orang-orang yang beragama Islam..”
Ada pula yang telah hilang akal lalu memberikan pertanyaan melenceng dari pokok percakapan “
“Bagaimana dengan kata “Minang” yang dijadikan orang sebagai kata “petunjuk” serupa Rumah Makan Minang atau Rumah Makan Padang. Yang terkadang juga buka pada bulan puasa..” tanya yang SEPILIS yang lain.
Kita kembali kepada Konsep Minangkabau tersebut. Apakah Minangkabau itu? Minangkabau bukan hanya sebatas wilayah geografis melainkan juga nilai-nilai budaya. Dimana penganut dari nilai-nilai budaya Minangkabau tersebut beragama Islam. Segala macam produk budaya apakah itu tangible (tampak) dan intangible (tak tampak) ialah mengaju kepada Minangkabau dengan Islamnya. Jadi apabila ada orang atau sekelompok orang yang menggunakan kata Minangkabau atau unsur-unsur budaya Minangkabau yang bertentangan dengan nilai-nilai adat dan agama (Islam) maka hal tersebut tidak dibenarkan. Termasuk disini penamaan “Gereja Minankabau Saiyo”, itu merupakan suatu pelecahan terhadap nilai budaya Minangkabau dan Islam.
Adapun dengan perilaku dari penganut suatu kebudayaan serta agama hendaknya kita pisahkan. Menjadi seorang Polisi bukan berarti engku akan menjadi orang yang paling ta’at kepada hukum. Menjadi seorang ahli hukum apakah itu pengacara, hakim, jaksa, atau yang lainnya bukan berarti engku akan menjadi orang yang paling sadar, faham, dan menjalani hukum tersebut dengan baik dalam kehidupan engku dan encik sekalian. Begitu juga dengan kasus-kasus yang diajukan serupa di atas, bukanlah kesalahan dari Minangkabau dan Islam apabila ada seseorangm atau sekelompok orang yang berkelakuan demikian. Kaji kita kembali ke awal, bahwa tiadanya “ALAT” untuk menegakkan suatu hukum, maka kecil kemungkinan suatu produk hukum itu akan jalan. Memanglah harus ada “pemaksaan, tindakan keras, bahkan kasar” untuk menegakkan suatu produk hukum. Sebab kesadaran masing-masing orang itu berlainan dalam menjalani dan mematuhi hukum yang berlaku dalam masyarakatnya.
Kemudian ada pula yang bertanya sinis “Bukankah suatu produk hukum itu berlaku di teritorialnya?”
Memang benar untuk nilai-nilai atau norma atau aturan , dan orang Minangkabaupun memiliki falsafah yakni “Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Dimana saja orang Minangkabau merantau, dapat saja menyesuaikan norma-norma (nilai-nilai budaya) yang dianutnya sesuai dengan daerah tempat dia merantau. Asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam sebagai lansan pokok dari kehidupan beradat di Minangkabau.
Sedangkan untuk produk budaya yang bersifat Tangible (tampak) seperti ragam pakaian (termasuk di dalamnya motif songket, motif bordiran, dsb), ragam arsitektur, ukiran, pahatan, dan lain sebagainya tak dapat digunakan oleh sembarang orang pada sembarang tempat. Sebab dalam setiap produk budaya tersebut terdapat makna filosofis dari Budaya Minangkabau yang berakar kuat ke Syar’at.
Seperti contoh: Baju kurung, bentuk baju kurung ialah lapang, tidak boleh dibentuk pada pinggang, dibuat ketat, atau pendek kata “mengikuti perkembangan zaman”. Karena merusak dan bertentangan dengan nilai Adat yang Berlandaskan kepada Syari’at itu sendiri.

No comments:

Post a Comment