Sunday, September 11, 2016

Pemurtadan di Minangkabau (Bag.8)

Pada tulisan yang lalu kami telah mencoba menerangkan perihal berbagai upaya dari kaum fasik nan munafik serta kaum kafir dalam menyokong Pemurtadan di Minangkabau ini. Kami sengaja membagi tulisan Bagian.7 ini menjadi dua bagian.
Yanwardi & Afolo tatkala sedang melaksanakan salah satu ritual agama mereka.
Yanwardi & Afolo tatkala sedang melaksanakan salah satu ritual agama mereka.
Gambar: Internet
Pertanyaan lainnya yang menggambarkan betapa kuat keinginannya untuk menggoyahkan Adat & Islam di Minangkabau ialah “Tatkala Islam pertama masuk ke Minangkabau tentulah ketika itu orang Minangkabau belum bergama Islam. Kemudian Islam berkembang di Minangkabau, dan saya yakin bahwa tidak 100% orang Islam menerima dan menganut Islam di Minangkabau. Namun apabila dikatakan mayoritas, mungkin iya. Kecuali ada data-data statistik yang dapat membuktikan pernyataan saya tersebut salah. Dan sekarang Mayoritas tersebut tatkala mendengar yang Minoritas menyatakan diri Bukan Islam malah hendak dikeluarkan yang Minoritas dari Minangkabau. Bukankah itu salah satu bentuk man-den dari Urang Minang mentang-mentang Mayoritas.”
Mengurut dada kami mendengar pendapat orang fasik ini. Sudah begitu besarkah kebenciannya kepada adat dan agama di negeri ini. Atau jangan-jangan dia telah murtad?
Kawan kamipun tatkala kami tanyai pendapatnya mengenai hal inipun menjawab;

Pertama dia benar kalau berpendapat bahwa tatkala pertama datang ke Minangkabau, belum semua orang Minangkabau menganut agama Islam. Namun satu dia lupa, proses Islamisasi di Minangkabau terus berlangsung semenjak kedatangannya di abad ke-7. Bahkan hingga sekarang masih terus berlaku Islamisasi yang dihadang oleh SEPILISisasi & Kristenisasi. Selama kurang lebih 14 Abad (Berdasarkan Penanggalan Masehi-Abad ke-7 s/d Abad 21) Islam di Minangkabau, Ranah Melayu, & Indonensia ini tentulah sepanjang masa yang lama tersebut telah terjadi Islamisasi serta dialektika antara Islam dengan Adat pada masing-masing daerah di kawasan Asia Tenggara. Dengan ragam atau pola yang berbeda pada tiap daerahnya. Kita patut berterimakasih kepada Tuanku Renceh & Tuanku Imam Bonjol. Sebab kalau tidak karena mereka,  maka Islam di Minangkabau ini pastilah sama dengan daerah lainnya.
Seperti kelakar orang-orang di Dunia Maya “Di Minangkabau, Minangkabau Diislamkan. Sedangakan di Jawa, Islam Dijawakan..” kami mohon maaf sebelumnya.
Maksudnya ialah Pengaruh Islam (dengan hukum Syari’atnya) sangatlah besar kepada adat. Berlainan dengan beberapa daerah di republik ini dimana yang terjadi justeru sebaliknya. Dimana Islam justeru dipengaruhi oleh adat-istiadat lama peninggalan masa Pra-Islam. Bagi engku dan encik yang pernah membaca TAMBO Alam Minangkabau tentulah akan tersua. Dimana Datuak Katumangguangan sangat gigih sekali mempertahankan Hukum Tarik Balas yang serupa dengan Hukum Qisas dalam Islam.
Selama rentang waktu 14 abad tersebut Islam telah merata di Minangkabau serta rantaunya. Cobalah tengok, sebutkan saja satu kawasan di Minangkabau yang tidak menganut Islam yang tidak mengakui Adat Basandi Syarak – Syarak Basandi Kitabullah?
Islam dan adat yang telah padu, jalin-menjalin tersebut dianut oleh semua orang Minangkabau. Tidak pernah terdengar ada satu kawasan di Minangkabau yang berlainan. Apabila ditanya bukti-bukti statistik! Maka tak usahlah dijawab. Kenapa?
1. Yang bertanya mencoba mengarahkan kita kepada konsep yang telah dirancangnya. Kita punya konsep sendiri mengenai hal ini. Jangan pernah terpancing emosi atau hilang akal dalam beradu pendapat dengan orang Fasik ini. Sebab kalau kita hilang akal, maka kita akan mudah digiringnya.
2. Metode statistik belum dikenal oleh orang Minangkabau sampai orang Belanda memperkenalkannya. Itupun hanya sebatas untuk kepentingan Pemerintah Kolonial dan dilakukan oleh orang-orang Belanda atau pribumi yang telah dididiknya.
3. Kalau kita lakukan sensus pada masa sekarang mengenai hal ini. Maka besar kemungkinan orang-orang fasik ini akan bertepuk tangan. Sebab mereka tahu dan kitapun juga tahu telah banyak orang Minangkabau yang Murtad. Sehingga klaim kita “Semua orang Minangkabau ialah Islam. Apabila dia bukan islam maka dia bukan orang Minangkabau” akan mudah mereka patahkan. Bersorak mereka akan kepandiran kita, sampai jua yang mereka tuju.
Jadi kita hendaknya jangan terpancing dengan isu-isu Mayoritas VS Minoritas yang mereka usahakan untuk dimajukan. Memang begitulah kerja orang-orang fasik nan munafik atau murtadin & kaum kafir di negara kita saat ini. Kasus Ahmadiyah, Ajaran Sesat, Gereja Liar, dan lain sebagainya. Untuk membela mereka, kaum fasik nan munafikini berusaha mengemukakan isu Mayoritas VS Minoritas.
Kemudian ada pula yang menanyakan pertanyaan pandir “Apa dasarnya mengatakan bahwa apabila ada seorang lelaki atau perempuan muslim menikah dengan orang kafir (non-muslim) maka ia telah berdosa. Dengan kata lain lah banyak kaji nan dilangga.Bukankah yang menentukan seseorang itu berdosa, kafir atau tidak kafirnya ialah Allah. Bukan manusia yang juga penuh dosa?!”
Kami tergelak mendengar pernyataan ini, memang benar ada dalil pada Surah Al Maidah ayat:5 dimana disebutkan bahwa boleh menikahi perempuan-perempuan Ahli-Kitab. Dalil inilah yang menjadi sandaran para SEPILIS. Sebab mereka melupakan dalil lainnya yakni Surah Al Baqarah ayat: 221 dimana dilarang oleh Allah Ta’ala menikah bagi seorang muslim dengan non muslim. Satu hal lagi yang mereka tak tahu bahwa Surah Al Maidah hanya membolehkan seorang lelaki muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab[1]. Izin inipun dengan syarat yakni “Perempuan-perempuan terhormat”.
Apa itu perempuan terhormat?
Ialah seorang perempuan non muslim yang menjaga dirinya (dari zina, perilaku/akhlaknya, baik agamanya, dsb) bukan perempuan sembarangan semisal perempuan pesolek yang hanya mementingkan penampilan dan gaya hidup dimana rendah moral dan akhlaknya. Itulah keringan bagi kaum lelaki namun tidak boleh sama sekali tidak ada dalil yang membolehkan seorang perempuan muslim menikah dengan lelaki non muslim.
Seperti yang dijelaskan oleh Mahmud Syaltut dalam kumpulan fatwanya.
    Pendapat para ulama yang membolehkan itu berdasarkan   kaidah syar’iyah yang normal, yaitu bahwa suami   memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri,    serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap    keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami    Muslim –berdasarkan hak kepemimpinan yang    disandangnya– untuk mendidik anak-anak dan keluarganya    dengan akhlak Islam. Laki-laki diperbolehkan mengawini    non-Muslimah yang Ahl Al-Kitab, agar perkawinan itu    membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga    terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya    terhadap Islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang baik    yang berbeda agama dengannya itu, sang istri dapat   lebih mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam    secara amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dari    dampak perlakuan baik itu ketenangan, kebebasan    beragama, serta hak-haknya yang sempurna, lagi tidak    kurang sebaik istri.
 Selanjutnya Mahmud Syaltut menegaskan  bahwa  kalau  apa  yang dilukiskan   di  atas  tidak  terpenuhi sebagaimana  sering terjadi pada  masa  kini–  maka  ulama  sepakat  untuk  tidak membenarkan perkawinan itu, termasuk oleh mereka yang tadinya membolehkan.[2]
__________________________________
Catatn Kaki:
[1] Para ulama mendefenisikan perempuan ahli kitab ini dengan pemeluk Nasrani (Kristen) dan Yahudi. Sedangkan tidak bagi pemeluk agama lain.
[2] Lebih lanjut silahkan kunjungi situs:

No comments:

Post a Comment