Salah satu gedung perkuliahan di Unand. | |
Gambar: Internet |
Keadaan barak tentunya telah agak sedikit
berbeda, walau sudah bertahun-tahun lamanya namun tidak banyak yang berubah
kecuali harga makanan yang semakin mahal. Katika itu sedang masa libur semester
genap sehingga mahasiswa sedikit. Bahkan di barak
ini tidak kami temui seorang mahasiswapun.
Selepas makan maka kamipun
pergi ke meja kasir untuk membayar makanan kami. Ketika hendak membayar, salah
seorang pelayan perempuan di sana bertanya basa-basi kepada kami “Hendak
membayar ya mas..?”
Kami terdiam mendengarnya,
sudah banyak kiranya yang berubah di kampus ini. Kampus dari universitas
kebanggaan kami orang Minangkabau, bagian dari jati diri (identitas) kami,
perlambang bagi kecerdasan intelektual kami orang Minangkabau. Telah berubah
rupanya..
Dahulu mereka memanggil
kami para mahasiswa dengan panggilan uda
atau abang yang merupakan panggilan
lazim bagi lelaki Minangkabau. Sama agaknya dengan panggilan mas di Jawa (dan juga beberapa kota di
Pulau Jawa). Kami terhenyuk, sedih, marah, kesal, dan lain-lain perasaan
bercampur baur. Tapi apa hendak dikata, tak patut rasanya kalau kami marah
ketika itu.
Kami kembali terkenang akan
sebuah tulisan yang pernah dimuat pada salah satu blog yang pernah kami baca
dahulunya. Sebuah tulisan yang diangkat dari pengalaman pribadi si penulis,
tulisan yang mencemooh (mengkritisi) salah satu kejadian pada salah satu bank
di salah satu kota di Sumatera Barat.
Penulis berkisah, pada
suatu ketika dia hendak mengurus beberapa urusan ke salah satu bank yang
terdapat di salah satu kota di Sumatera Barat. Ketika baru masuk, lazimnya pada
sebuah bank pada masa sekarang, pintu dibukakan oleh satpam. Si satpam menyapa
dirinya “Selamat Datang Mas, ada yang
dapat kami bantu..”
Kesal minta ampun si
penulis dibuatnya, padahal dia berada di salah satu kota di darek,[2]
daerah asal orang Minangkabau, jantung dari Kebudayaan Kami Orang Minangkabau.
Ketika itu dia menulis dalam tulisannya “..saya
terkejut, kenapa pula saya dipanggil “mas”? padahal saya berada di Darek, di
Minangkabau. Saya tidak suka dengan panggilan tersebut, panggil saja saya uda
atau abang…”
![]() |
Balai adat dan Surau |
Gambar: Internet |
Kami juga terkenang pula
dengan pengalaman kami di kampung, kampung kami ialah di salah satu nagari di darek. Ketika itu kami sedang berbelanja ke salah satu lepau (kedai/warung). Ketika itu pemilik
kedai sedang memutar salah satu siaran radio di kota kami. Kamudian setelah
iklan, terdengar penyiar menyapa para pendengarnya dengan sebuatan “..mabak dan mas pendengar radio yang kami
cintai..”.
Ketika itu ada seorang datuk sedang bercakap-cakap dengan
pemilk kedai. Mendengar hal tersebut beliau berkomentar “.. ampun.. sungguh hebat orang Minangkabau
zaman sekarang. telah berganti adat kita sekarang rupanya. Bukankah zaman Orde
Baru telah berlalu..”
Benar kiranya engku dan
encik sekalian, itulah keadaannya pada zaman sekarang. Walau zaman telah
berganti, namun proses Jawanisasi tetap
berlangsung. Hanya dengan bentuk yang berlainan. Kalau dahulu dipaksakan oleh
pemerintah, maka sekarang berjalan dengan cara tersamarkan atas nama kebebasan melalui media.
Itu ialah hak asasi bagi setiap manusia, ia merdeka untuk memanggil
dengan panggilan yang ia yakini dan sukai. Begitulah kira-kira..
Engku dan encik sekalian,
yang tampak tersebut merupakan hal yang biasa pada zaman sekarang. Kita (orang
Minang) terkesan abai, tak hendak mempermasalahkan, menerimanya sebagai sesuatu
yang wajar, biasa..
Tengok saja Bahasa Melayu
atau kita menyebutnya Bahasa Indonesia. Telah banyak disusupi istilah-istilah
dari Bahasa Jawa yang non Melayu. Sehingga akibatnya kita orang Melayu menjadi
asing terhadap bahasa itu pada masa sekarang. Perlahan-lahan beberapa kata
diubah dan diganti, dipakai serapan dari Bahasa Jawa dan Inggris. Padahal kita
punya padanannya dalam Bahasa Melayu. Boleh memakai kata serapan asalkan tidak
ada padanannya dalam Bahasa Melayu.
Entahkan apa yang terjadi
esok, mungkin anak-kamanakan kita
takkan pandai lagi bercakap Bahasa Minang ataupun Bahasa Melayu pada masa
depan.
[1]
Barak, dalam hal ini bermakna kedai
makan atau warung. Sama sekali tidak ada kesan militer. Biasanya para mahasiswa
lelaki suka bermain balak atau domino
di barak ini dahulunya. Mereka
bermain sebelum jam kuliah, selepas kuliah, dan bahkan ketika jam kuliah sudah
masuk bagi mahasiswa pemalas. Kesannya lebih merakyat tidak seperti kafe serta
harga makanan lebih murah di barak-barak
ini.
[2]
Daerah asal orang Minangkabau.
No comments:
Post a Comment