|
|
Keputusan ini mendapat sorotan di Jakarta terutama oleh beberapa
lembaga, apakah itu lembaga pemerintah ataupun swasta, lembaga penelitian
ataupun LSM, serta terutama
sekali ialah Media yang Telah
Dikuasai oleh Kaum Liberal. Kebanyakan dari mereka
menilai kebijakan ini sebagai suatu kebijakan “yang bodoh”.
Kenapa demikian?
Karena menurut penelitian yang mereka
(orang-orang Jakarta yang menentang) lakukan dengan menggunakan segenap metode dan teknik yang telah mereka pelajari pada disiplin ilmu yang mereka kuasai. Di dapatlah hasil bahwa
keputusan dari Pemkab Lhokseumawe merupakan keputusan yang keliru dan pandir.
Kenapa demikian?
Menurut orang-orang hebhat ini duduk mengangkang jauh lebih aman bagi
penumpang sepeda motor jika dibandingkan dengan duduk menyamping. Hal ini
karena pengemudi lebih mudah menjaga keseimbangan, penumpang tidak cepat
lelah, keselamatan lebih
terjaga, dan lain sebagainya. Begitulah pendapat mereka, pendapat mereka serupa itu beredar
dengan luas di berbagai media di republik ini, baik cetak maupun yang
elektronik.
Namun benarkah demikian?
Maaf sebelumnya kami ucapkan, telah lama berlaku di masyarakat
kami, terutama di masyarakat yang Hukum Adat dan Hukum Agamanya telah berpadu
dengan Syari’at Islam. Telah berlaku semenjak dahulu di negeri kami ini bahwa
ada norma atau aturan tak tertulis yang selalu dipatuhi bahwa jika seorang
perempuan dibonceng di atas motor, maka dia harus duduk menyamping. Tidak
peduli apakah dia dibonceng oleh lelaki atau perempuan, namun dia wajib duduk
menyamping.
Perempuan-perempuan yang duduk mengangkang biasanya kalau tidak
anak-anak yang masih kecil dan belum pandai menjaga keseimbangan atau mereka
ialah para perempuan yang tidak jelas asal usulnya,
tidak baik akhlaknya, dan tidak benar kehidupan yang dijalaninya . Begitulah yang tersurat dalam Norma Adat
kami.
Tidak pernah selama ini terjadi kecelakaan karena penumpang
duduk menyamping. Suatu keadaan (teori) yang tampaknya sengaja dibuat-buat
untuk menakut-nakuti dan membenarkan pendapat yang menentang keputusan
"duduk menyamping". Pada beberapa daerah di Indonesia yang adat dan
syari'at telah berpadu di negeri mereka. Telah lama berlaku dalam norma adat,
bahwa kalau membonceng perempuan, mereka selalu duduk menyamping, tak ada
masalah dengan peraturan itu. Semua berjalan dengan sebagaimana mestinya, tidak
ada pelanggaran, kalaupun ada, langsung ditegur oleh orang tua atau para tetua kampung. Namun tampaknya hal semacam itu menjadi masalah
bagi sebagian orang.
Sungguh sangat lawak sekali, orang-orang yang selama ini dikenal
karena memperjuangkan nilai-nilai dari Pluralisme. Pada
saat sekarang, mereka sendiri yang menginjak-injak nilai-nilai yang mereka
perjuangkan. Sekarang kami bertanya "Dimanakah Pluralisme itu
sekarang..!?"
Apa yang disampaikan oleh orang-orang ini lebih mengarah kepada sugesti. Sebenarnya perkara yang dipermasalahkan tidak
begitu besar, hanya saja karena bertentangan dengan nilai-nilai yang berusaha
di usung dan diterapkan oleh sebagian kecil golongan yang memiliki jaringan di
republik ini. Maka hal tersebut menjadi masalah. Sama kiranya jika kita tak sengaja menyenggol orang di jalanan,
dengan meminta maaf maka semua permasalahan akan selesai. Namun lain perkara
jika yang tersenggol ialah orang berpangkat dan berkuasa, maka masalahnya tak
dapat selesai hanya dengan meminta maaf saja. Begitulah yang terjadi sekarang.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, maka norma-norma adat
tersebut mulai bergeser. Yang tak patut menjadi patut, yang haram menjadi halal, dan lain sebagainya. Zaman sekarang mulai banyak perempuan yang
berani duduk mengangkang di atas motor. Yang paling membuat masyarakat kami
sedih dan kesal ialah tatkala melihat seorang perempuan duduk dibonceng oleh
seorang lelaki, mereka berdempetan seperti orang sedang berpelukan. Dilakukan
di jalan raya, dihadapan orang banyak, menjadi tontonan orang banyak, dan
mereka sadar tapi entah karena urat malu yang telah
putus, mereka tetap berlalu.
Kami yang memandang hanya dapat mengurut dada, menahan hati, bukan makan hati lagi namanya tapi sudah makan
jantung. Norma Adat dan Agama
kami diinjak-injak oleh anak-kamanakan kami sendiri. Di atas labuh (jalan) kami, di dalam nagari kami sendiri. Dan menurut orang Jakarta hal itu biasa dan aman. Sayang sekali bahwa masyarakat di daerah hidup dengan cara yang
berbeda dengan Orang Jakarta, yang terjadi sekarang ialah usaha untuk melakukan
penyeragaman. Padahal disatu sisi mereka mengsung Pluralitas. Sungguh sangat menggenaskan, kemunafikan dan tangan besi tengah
berlangsung dan dipertontonkan di republik ini. Dan sebagian besar dari kita
tak berdaya apa-apa, hanya diam memandangi ini semua.
Memang telah lama terdengar oleh masyarakat di daerah, kami
dengar dari para perantau kami yang telah bersekolah ataupun tinggal agak
beberapa lama di Pulau Jawa, keadaan di sana sudah lama berlangsung demikian.
Dimana sudah menjadi biasa di jalan-jalan di negeri-negeri di pulau itu jika
terdapat sepasang anak muda bujang dan gadis berboncengan maka mereka akan
saling berpagutan seperti laki-bini di
dalam bilik. Merekapun tak merasa malu karena sudah biasa, “ah.. biasa itu zaman
sekarang..” kata sebagian besar
dari orang-orang yang mengaku "tercerahkan" di negeri itu.
![]() |
Duduk
mengangkang seperti ini dapat dibenarkan. Karena ini menyangkut keselamatan Si Buah Hati. Tapi Penumpang harus memakai helem, jangan hanya pengendara. Gambar Ilustrasi: Internet |
Namun sayangnya, Indonesia tidak hanya Jakarta atau Pulau Jawa.
Negara ini terdiri atas orang dan bangsa yang beragam adat kebiasaannya. Lazim bagi orang di Jakarta, belum tentu lazim
pula bagi masyarakat daerah. Dan Orang Jakarta harus dapat menerima itu, jangan hendaknya
masyarakat di daerah saja yang "dipaksa" untuk menerima perbedaan dan
kekurangan dari orang-orang Jakarta, itu namanya egois, kalau tidak salah.
"Orang-orang Tercerahkan" para penganut aliran Pluralisme, beberapa golongan dalam Islam menyebut
mereka dengan panggilan Kaum Abdullah bin Ubay. Kenapa?
Karena, Jika mereka yang berbeda dengan orang lain, maka mereka akan
menuntut orang lain untuk menerima diri mereka apa adanya, alasan dari mereka
ialah “karena hidup ini penuh dengan perbedaa, bukankah bunga akan terlihat
indah di taman apabila mereka terdiri atas beragam warna” kata mereka “kita
tidak dapat menyeragam seluruh orang, pemikiran, dll” lanjut mereka lagi.
Namun apabila orang lain yang berbeda dengan
mereka maka mereka tak hendak menerima. Menuntut orang yang berbedang dengan
mereka itu, untuk sama dengan mereka, kalau ajakan mereka ditolak maka dengan
segera “hujatan” sebagai fanatik, fundamentalis, radikalis, & teroris
segera mereka sematkan kepada orang-orang tersebut. Mereka kaum SEPILIS menang
beberapa langkah dari orang-orang ini, karena mereka memeliki media yang selalu
mendukung gerak mereka. Seperti yang terlihat kali ini, dimana seluruh media
besar mendukung merekan dalam mengolok-ngolok saudara kami di Aceh.
Tahukan sidang pembaca sekalian, apa yang kita tanam sekarang
akan kita tuai dimasa depan kelak. Selama ini yang ditebarkan ialah kebencian,
maka mari sidang pembaca sekalian, kita tengok saja hasilnya serupa apa di masa
depan kelak. Kami tak pernah mencari lawan, Kami orang Melayu memiliki falsafah “Musuh Pantang Dicari, Kalau
Bersua Pantang Mengelak.. Tuan Pinta..Kami Beri..”
disalin dengan diubah seperlunya
dari:
http://soeloehmelajoe.wordpress.com/2013/01/05/tak-sopan-duduk-mengangkang/
No comments:
Post a Comment