Sunday, September 11, 2016

Pemurtadan di Minangkabau (Bag.10)

Yanwardi sedang memberi Khotbah dengan Pakaian Penghulu.
Yanwardi sedang memberi Khotbah dengan Pakaian Penghulu.
Beragam pendapat dari orang Minangkabau sendiri perihal berbagai kasus murtadnya orang Minangkabau. Dimana setelah murtadnya, dia dan kawan-kawan menggunakan simbol-simbol budaya Minangkabau dalam berbagai ritual agama atau hal-hal yang berkaitan dengan agama baru mereka.
Salah satu pendapat berpandangan bahwa  sebaiknya orang Minangkabau segera menjelaskan dan menetapkan hitam di atas putih mengenai berbagai simbol-simbol budaya Minangkabau yang telah disalah gunakan. Hal ini untuk memperkuat posisi kita orang Minangkabau di hadapan hukum apabila hal ini masih terjadi.
Selama belum jelas hitam-di atas putih maka para murtadin ini akan semakin leluasa dan semena-mena atas berbagai simbol budaya Minangkabau. Dalih mereka salah satunya ialah “Apakah orang yang disebut sebagai Orang Minangkabau itu hanya yang beragama Islam saja? Sebab saya berasal dari keturunan Minangkabau tulen, kakek dan nenek saya dari fihak ayah atau ibu serta apabila dirujuk terus ke atas ialah keturunan Minangkabau tulen. Begitu pula saya, 100 & Minangkabau..”

Salah seorang engku pernah memberikan pengajaran yang terdengar oleh kami “Minangkabau tidak hanya sebatas garis keturunan, bukans serupa itu. Memiliki orang tua beradat bukan berarti anaknya juga akan menjadi seseorang yang beradat. Begitu pula dalam Islam, memiliki orang tua yang ta’at beragama bukan berarti anak-anaknya akan ta’at pula beragama. Adat Minangkabau itu serupa dengan Islam yakni jalan hidup yang diamalkan oleh setiap insan. Tanggung jawab dari masing-masing orang tualah untuk mendidik anaknya agar menjadi orang-orang yang beriman dan beradat..”
Engku inipun melanjutkan “Saya pernah mendengar salah seorang dari salah satu etnis tatkala menyikapi salah seorang kawan satu etnisnya yang pindah agama menjadi muslim. Dia berkata begini: Engku itu setelah menjadi muslim merasa dirinya kita asingkan. Padahal apapun agamanya yang dia tetap beretniskan C*i*a. Saya tersenyum dan salut dengan engku ini, namun prinsip berlainan dianut oleh adat kita di Minangkabau ini. Apabila dia telah keluar dari Islam maka dia bukan lagi Orang Minangkabau. Karena antara adat dan agama di Minangkabau ini ialah padu tak dapat dipisahkan…”
Oleh karena itu, perlu kiranya kita perjelas secara hukum mengenai hal ini supaya dapat ditindak menurut Hukum Positif di negara kita.
Kemudian ada pula pendapat lain “Yang kami cemaskan ialah bahwa kita Orang Minangkabau ini masih menganggap mereka bagian dari kita. Masih berasa setitik dalam sebelanga susu. .”
Benar agaknya, perlu tindakan cepat dari para Penghulu dan Ulama dalam menyikapi hal ini. Begitu terdengar ada diantara anak-kamanakan kita yang murtad maka segera diambil tindakan. Jatuhkan Hukum Buang kepada meraka, jangan lagi ada pengakuan, jangan lagi ada keringanan, dan jangan lagi ada toleransi.
Sejauh pengetahuan kami, hukuman dikenakan tidak hanya kepada si pelaku akan tetapi juga kepada keluarga mereka. Hukuman kepada keluarga dapat saja sama dengan Si Murtadin yakni Hukuman Buang atau membayar denda adat. Semua itu sangat bergantung sekali kepada keadaan keluarga dari Si Murtadin serta pertimbangan-pertimbangan dari para Penghulu, Alim Ulama, dan Orang Kampuang.

No comments:

Post a Comment